Rabu, Juni 29, 2011

Keteladanan

Membaca koran Kompas Selasa, 3 Mei 2011 di kolom opini halaman 7 tentang pendidikan watak yang dituliskan oleh Bapak Mochtar Buchori, membuat saya terinspirasi untuk membuat sebuah tulisan yang berjudul Pentingnya Pendidikan Keteladanan. Sebuah artikel yang lebih mengarahkan peserta didik untuk mampu memancing ikan, dan menemukan kreativitas dan imajinasinya dari keteladanan orang dewasa.

Pentingya sebuah pendidikan bagi manusia sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun sayangnya, kelakuan tidak bermoral dan perbuatan negatif lainnya seperti korupsi di negeri ini justru dilakukan oleh mereka yang telah mendapatkan pendidikan. Bahkan mereka itu telah mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau universitas. Itulah yang membuat kita miris.
Mengapa banyak orang pinter di negeri ini menjadi keblinger? Apa yang menyebabkan mereka seperti itu? Pintar tetapi tersesat jalan. Pendidikan macam apa yang telah mereka lalui sehingga otak lebih dominan ketimbang watak. Pasti ada yang salah dalam implementasi pendidikan watak. Kesalahan itu mudah saja dilihat karena minimnya pendidikan keteladanan.
Pendidikan watak hanya menjadi sebuah teori yang miskin aplikatif. Kejujuran menjadi barang mahal di era persaingan global. Takwa menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi sulit dijalankan. Kita pun menjadi orang yang munafik. Seolah-olah kita telah menjadi seorang ustadz yang bijaksana di kampung maling.
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Urgensi Pendidikan dimulai dari manusia dilahirkan dari rahim ibundanya. Seorang anak bagaikan kertas putih yang siap dituliskan isinya. Orang tuanyalah yang akan membentuk karakter atau watak anaknya. Oleh karenanya pendidikan keluarga adalah pendidikan yang sangat penting di dalam frase pertumbuhan anak. Bila pendidikan dalam keluarganya baik, maka ketika sang anak berhadapan dengan lingkungan sekitarnya akan berusaha untuk menyampaikan kebaikan. Hati nuraninya akan berontak ketika ada sesuatu yang tak sesuai hati nuraninya. Di situlah sebenarnya peran penting ayah dan ibu. Tak salah bila kitab suci selalu mengingatkan, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.
Ketika pendidikan keluarga telah berjalan baik, maka ada jenjang pendidikan formal yang harus mereka lalui. Orang banyak biasa menyebutnya sekolah. Di jenjang sekolah itulah pendidikan harus berjalan baik, dan sesuai dengan defenisi di mana peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki:
1. Kekuatan spiritual keagamaan,
2. Pengendalian diri,
3. Kepribadian,
4. Kecerdasan,
5. Akhlak mulia,
6. Keterampilan
Dari keenam hal di atas nampak jelas bahwa tujuan bersekolah seharusnya sesuai dengan definisi pendidikan yang sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003. Namun dalam kenyataannya seperti jauh panggang dari api. Sekolah belum menghasilkan peserta didik yang secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kenapa hal itu sampai terjadi? Karena banyak dari pendidik tak menguasai konsep dasar dari pendidikan itu sendiri. Bahkan banyak guru yang belum mampu memberikan contoh atau teladan yang baik dari tujuan bersekolah. Janganlah heran bila kita lebih mudah melahirkan generasi yang berotak cerdas daripada generasi yang berwatak cerdas. Cerdas otak tanpa disertai cerdas watak akan melahirkan generasi keblinger seperti apa yang dikhawatirkan oleh pengamat pendidikan bapak Mochtar Buchori.
Sekarang saatnya kita mulai melakukan instrospeksi diri yang dimulai dari diri sendiri. Coba tanyakan kepada diri apakah pendidikan watak telah sampai ke otak dan hati nurani kita? Bila pendidikan watak lebih dominan, maka hati tak akan rusak oleh gemerlapnya kehidupan dunia yang fana ini. Dia tak akan pernah korupsi atau berbuat curang karena kekuatan spiritual keagamaan telah bersemi di dalam hati orang yang mengaku telah beragama dan menyembah Tuhannya.
Begitupun dengan pengendalian diri. Peserta didik yang sudah diberikan bekal bagaimana mengendalikan dirinya akan jauh lebih bijak dalam bertindak karena matang dalam berpikir. Tidak mudah emosi dan mampu mengendalikan dirinya dari hal-hal yang tidak baik. Di situlah kepribadian orang yang berwatak cerdas muncul. Dia akan menjadi pribadi yang tangguh, dan pantang menyerah. Pribadi yang unggul, dan mampu mandiri. Mereka akan lebih mandiri lagi bila dibekali dengan pendidikan kewirausahaan. Mind set mereka pun akan berubah dari mental pegawai menjadi mental pengusaha. Kreativitasnya akan muncul untuk menciptakan lapangan kerja buat dirinya, dan orang lain. Imajinasinya akan hidup karena diberi ruang untuk menumbuhkan kreativitasnya yang unik. Ingatlah! Setiap manusia memiliki lebih dari satu potensi. Kata-kata itulah yang masih saya ingat dalam mata kuliah Psikologi yang diampu oleh Prof. Dr. Conny. R. Semiawan. Seorang guru besar emiritus dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Pribadi yang unggul dan mandiri akan menjadi pribadi yang cerdas karena berakhlak mulia. Akhlak mulia inilah yang harus benar-benar nyata diajarkan kepada para peserta didik dengan pendidikan keteladanan.
Pendidikan keteladanan itu telah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW bagi mereka yang menganut agama Islam. Sifat Sidiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah akan tercermin dari peserta didik manakala pendidik atau guru di Indonesia menyadari bahwa sifat kenabian harus dicontohkan, dan bukan hanya sekedar teori yang dihafalkan. Dia memerlukan tindakan nyata dan bukan sebatas kata-kata.
Ketika peserta didik secara aktif telah mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, maka keterampilan yang diperlukan dengan sendirinya akan mudah masuk ke otak siswa. Sebab keterampilan pada hakekatnya proses berlatih terus menerus. Siapa yang rajin belajar pasti akan pandai. Siapa yang rajin menulis, pastilah akan terampil menulis. Karena menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa diajarkan dan bukan bakat.
Akhirnya, saya harus menutup pentingnya pendidikan keteladanan ini dengan sebuah kata bijak. Semut diseberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Seringkali kita menyalahkan orang lain, dan menganggap diri sendiri lebih hebat dari orang banyak. Bila anda memang orang hebat, berikanlah pendidikan keteladanan sebab pendidikan keteladanan saat ini masih hanya sebatas slogan. Satu kata antara perkataan dan perbuatan menjadi sesuatu yang mustahil terlihat kalau kita sebagai orang dewasa tak mampu memberikan pendidikan keteladanan. Urgensi pendidikan harus mengantarkan peserta didik menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas otak, tetapi juga watak. Tak salah kiranya bila pendidikan watak atau karakter sudah harus kita benahi di sekolah-sekolah kita.
Salam Blogger Persahabatan

Pentingnya pendidikan Indonesia

Berbicara mengenai pendidikan dinegeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara. sudahkan pendidikan kita sesuai dengan isi UU terebut? jawabannya tentulah belum.
Kondisi pendidikan kita saat ini begitu menyedihkan. ada banyak hal yang harus dibenahi dalam pendidikan kita ini, mengingat pendidikan adalah investasi  masa depan bangsa dan pengaruh dinamis terhadap perkembangan jasmani dan rohani atau kejiwaan anak bangsa kita , dimana mereka dididik agar bisa meneruskan gerak langkah kehidupan bangsa ini agar menjadi bangsa yang maju, berpendidikan dan bermoral. ini tentunya akan menjadi tugas dan tanggung jawab banyak pihak , orang tua, para pendidik (sekolah), masyarakat dan juga pemerintah. kewajiban kita untuk mengembalikan kondisi pendidikan kita ini agar menjadi pendidikan yang terbaik, bermutu serta cerdas dalam IPTEK dan IMTAQ. pendidikan yang bertujuan untuk membentuk generasi muda menjadi manusia haruslah menyangkut unsur-unsur spiritual, moralitas, sosialitas dan rasionalita, tidak hanya menekankan segi pengetahuan saja (kognitif)tetapi harus menekankan segi emosi, rohani dan hidup bersama. begitu juga dengan Ujian Nasional yang pemerintah canangkan sebagai bentuk penilaian terhadap hasil belajar siswa. kegiatan ini hendaknya tidak hanya sekedar menguji akan kemampuan siwa dalam hal lmu pengetahuan, akan tetapi juga menguji akan kemmpuan siswa dalam kerohaniannya. sesuai dengan tujuan dalam UU bahwa peserta didik hendaknya memiliki kekuatan spiritual keagamaan.
    Peserta terbunuhnya praja IPDN akibat pemukulan yang dilakukan seniornya telah mencoreng muka dunia pendidikan di indoneia. praja yang dididik untuk menjadi pengayom masyarakat malah menjadi pembunuh yang berdarah dingin. peristiwa IPDN tersebut merupakan salah satu dari bentuk penerapan sistem pendidikan yang sangat buruk. agar sistem pendidikan itu baik harulah memenuhi unsur-unur seperti yang tercantum diatas, tak lupa harus disertai dengan pengaturan internal pendidikan itu sendiri yaitu adanya penentuan kurikulum. kurikulum ini terkait dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai , artinya kurikulum yang menggambarkan kualitas lulusan yang akan dihasilkan, agar tercipta proses yang handal dalam rangka menghasilkan output yang memiliki mutu tinggi, berkepribadian baik, islami dan sesuai dengan harapan UU No.20/2003 diatas.wallahu a’lam.