Tasawuf
A.
Tasawuf
Definisi
tasawuf satu dengan yang lainnya berbeda-beda tergantung dari sisi mana si
pakar tadi meninjaunya. Ada yang melihat dari sisi sejarah kemunculannya, ada
yang melihat dari sisi fenomenan sosial di abad klasik dan pertengahan, juga
ada yang melihatnya dari sisi substansi ajarannya dan ada juga yang melihat
dari sisi tujuannya.
1.
Asal-usul Tasawuf:
Teori pertama menyatakan bahwa
secara etimologis tasawuf diambil dari kata “Suffah” yaitu sebuah tempat di
mesjid Rasulullah Saw. (Mesjid Nabawi) yang dihuni oleh sekelompok sahabat yang
hidup zuhud yang konsentrasi beribadah kepada Allah sambl menimba ilmu dari
Rasulullah.
Teori kedua, menyatakan bahwa
tasawuf diambil dari kata “sifat” dengan alasan bahwa para sufi suka membahas
sifat-sifat Allah sekaligus mengaplikasikan sifat-sifat Allah tersebut dalam
perilaku mereka sehari-hari.
Teori ketiga berpendapat bahwa kata
“tasawuf” daiambil dari akar kata “sufah” artinya selembar bulu, sebab para
sufi dihadapan Tuhannya merasa begaikan selembar bulu yang terpisah dari
kesatuannya yang tidak mempunyai nilai apa-apa.
Teori keempat menyatakan bahwa
“tasawuf” diambil dari kata “shofia” yang artinya al-hikmah (bijaksana) sebab
para sufi selalu mencari hikmah ilahiyah dalam kehidupannya.
Teori kelima, sebagaimana
dikemukakan oleh al-Busti seorang fakar tasawuf, menyatakan bahwa taswuf
berasal dari kata “as-safa” yang artinya suci, bersih dan murni, sebab para
sufi membersihkan jiwanya hingga berada dalam kondisi suci dan bersih.
Ada juga teori yang menyatakan bahwa
tasawuf berasal dari akar kata “suf” yang artinya bulu domba (wool), dengan
argumentasi wool kasar yang terbuat dari bulu binatang sebagai tanda
kesederhanaan hidup mereka.
Diantara berbagai pendapat tenang
asal usul “taswuf” menrut Ahmad as-Sirbasi, pendapat al-Bustilah yang paling
kuat dan rajih, sebab kenyataannya tasawuf itu adalah upaya pensucian hati
supaya dekat dengan Allah.
Dilihat dari tujuannya, seperti
telah disinggung di atas, tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah dengan
cara mensucikan hati (tashfiat al-Qalbi).
2. Pengertian Tasawuf secara
Terminologis:
Menurut Muhammad bin Ali al-Qasab,
guru Imam Junaidi al-Bagdadi, tasawuf adalah akhlak mulia yang nampak di zaman
yang mulia dari seorang manusia mulia bersama kaum yang mulia.
Sedang menurut al-Junaidi al-bagdadi
(W. 297 H) tasawuf adalah :
“Engkau ada bersama Allah tanpa
‘alaqah (tanpa perantara)”.
Usman al-Makki berpendapat bahwa
tasawuf adalah keadaan dimana seorang hamba setiap waktu melakukan perbuatan
(amal) yang lebih baik dari waktu sebelumnya.
Sirri as-Saqati (W. 251 H) berkata :
“Tasawuf adalah suatu nama bagi tiga
makna : yakni (1) nur ma’rifat nya tidak memadamkan cahaya kewaraannya, (2)
tidak berbicara tentang ilmu batin yang bertentangan dengan makna zahir
al-Kitab atau sunnah, dan (3) tidak terbawa oleh karomahnya untuk melanggar
larangan Allah”.
Syekh Abdul Qodir al-Jilani
berpendapat bahwa taswuf adalah mensucika hati dan melepaskan nafsu dari
pangkalnya dengan kholwah, riyadoh dan terus-menerus berdzikir dengan dilandasi
iman yang benar, mahabbah, taubat dan ikhlas.
Sedangkan ilmu tasawuf adalah ilmu
untuk mengetahui keadaan jiwa manusia, terpuji atau tercela, bagaimana
cara-cara mensucikan jiwa dari berbagai sifat yang tercela dan menghiasinya
dengan sifat-sifat terpuji dan bagaimana cara mencapai jalan menuju Allah.
3. Obyek Ilmu Tasawuf:
Obyek ilmu taswuf adalah perbuatan
hati dan panca indera ditinjau dari segi cara pensuciannya.
4. Buah Ilmu Tasawuf:
Buah taswuf adalah terdidiknya hati mengetahui
(ma’rifah) terhadap ilmu gaib secara ruhani, selamat di dunia dan bahagia di
akhirat, dengan mandapat keridoan Allah.
5. Keutamaan Ilmu Tasawuf:
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling
mulia karena berkaitan dengan ma’rifah kepada Allah Ta’ala dan mahabbah
kepada-Nya.
6. Hubungan ilmu taswuf dengan ilmu
yang lainnya:
Nisbah ilmu taswuf terhadap ilmu
yang lain baagikan nisbah ruh bagi jasad. Ilmu tasawuf adalah ruh, sementara
ilmu yang lain adalah jasad. Jasad tidaklah dapat hidup tanpa ruh.
7. Pencipta Ilmu Tasawuf
Pencipta ilmu tasawuf adalah Allah
Tabaraka wa Ta’ala. Allah menciptakan ilmu ini kepada Rasulullah dan para Nabi
yang sebelumnya.
8. Nama Ilmu Taswuf
Ilmu tasawuf mempunyai beberapa
nama, antara lain sebagai berikut:
a. Ilmu Batin
b. Ilmu al-Qalbi
c. Ilmu Laduni
d. Ilmu Mukasyafah
e. Almu Asrar
f. Ilmu Maknun
g. Ilmu Hakikat
9. Pilar Ilmu Tasawuf
Pilar ilmu tasawuf ada lima perkara
a. Taqwallah (bertakwa kepada Allah)
baik sewaktu sirr maupun ‘alabiyah (terbuka).
b. Mengikuti Sunnah baik qauli maupun
fi’li serta mengaktualisasikannya dalam penjagaan diri dan akhlak yang baik.
c. Berpaling dari makhluk yang
diwujudkan dalam sikap sabar dan tawakkal.
d. Rida terhadap ketentuan Allah yang
diwujudkan dengan sikap qona’ah dan menerima (tafwid).
e. Kembali kepada Allah baik sikala
senang maupun di waktu susah.
10. Sumber Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf diambil dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Saw. Juga dari atsar assabitah (jejak yang sudah tetap)
dari umat-umat pilihan di masa silam.
11. Hukum Mempelajari Ilmu Tasawuf
Hukum mempelajarai ilmu tasawuf
adalah wajib ain artinya kewajiban yang mengikat kepada setiap individu muslim.
Oleh karena itu sebagian ulama ahli
ma’rifah berkata :
Barang siapa yang tidak memiliki
ilmu ini sedikitpun (ilmu batin), aku hawatir ia berakhir dengan su’ul
khatimah. Paling tidak seorang mukmin harus membenarkan akan ilmu ini dan
menyerahkan kepada ahlinya.
12. Masalah-masalah yang dibahas dalam
ilmu Tasawuf
Masalah inti yang dibahas dalam ilmu
tasawuf adalah sifat-sifat jiwa manusia, cara-cara pensucian jiwa, dan
penjelasan istilah-istilah yang khas dalam disiplin ilmu ini misalnya; maqamat,
taubat, zuhud, wara’, al-mahabbah, fana baqa dan yang lainnya.
B. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat
Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan bahwa rukun tasawuf ada
sepuluh macam, antara lain :
1. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
2. Memahami informasi. Maksudnya
mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam pergaulan.
4. Mengutamakan kepentingan orang
banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan antara pemenuhan
kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa terhadap intuisi
(ilham).
8. Banyak melakukan bepergian untuk
menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab untuk
menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan iddikhar (banyak
simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari ilmu.
C. Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah
disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun.
Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah,
meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk.
Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat
muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan
ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan
diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun,
Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat
bahwa tasawuf telah ada semenjak Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai
kehidupan manusia sejak awal-awal Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental
di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin
Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah taswuf. Menurut yang
lain Salman al-Farisi. Menurut pendapat yang lain Hudzaefah bin al-Yaman sebab
Hasan Basri (tokoh sufi di abad kedua Hijriyyah) berguru kepada Hudzefah.
Akar-akar tasawuf dalam Islam
merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi
ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam
adalah penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin
terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah
komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah
landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam
berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama
adalah Islam. Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman
adalah tingkatan pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan
adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum muqarribin.
D. Tahapan-tahapan Supaya bisa Dekat dengan
Allah
Dalam menempuh jalan ruhani menuju
Tuhan taqarrub ilallah(mendekatkan diri kepada Allah), ada
stasion-stasion (al-Maqamat)“hal” adalah kondisi yang dialami oleh
seorang sufi dalam dirinya atau batinnya sebagai hasil dari usahanya dalam
maqamat tadi. Dengan demikian perbedaan maqam dan ahwal ialam maqam merupakan
usaha seorang sufi untuk berada dalam tingkatan tertentu sedangkan ahwal adalah
suatu pemberian (karunia) Allah yang diberikan kepada seorang sebagai hasil
usahanya dalam maqam tadi.yang mesti ditempuh oleh seorang salik. Maqam adalah
kedudukan atau tahapan dimana seorang sufi berada. Kedudukan ini hanya akan di
dapat oleh seorang sufi atas usahanya sendiri dengan penuh kesungguhan dan
istiqamah. Sedangkan ahwal yang bentuk mufranya
“Ahwal adalah pemberian sementara
maqamat adalah usaha”.
Dengan demikian ahwal
bertingkat-tingkat. Pada umumnyapara sufi menulis sepuluh tingkatan.
1. Taubah
Taubah adalah maqam pertama yang
mesti dilalui oleh setiap salik.
Taubah ada tiga tingkatan :
a) Taubah orang sadar
Awalnya kebiasaan yang terjadi dalam
linngkungan beragama tetapi akhirnya menjadi tinggi dalam perasaan
tambah-tambah menjadi peringatan.
b) Taubat Salik
Taubah orang salik bukan dari dosa
dan kesalahan dan bukan dari penyesalan dan istigfar tetapi terjadi karena
perpindahan kondisi jiwa yang naik menjadi sempurna sehingga dapat menghadirkan
Allah dalam setiap gerak nafasnya.
Dalam sebuah syair yang indah
Abdullah al-Mubarok menyatakan :
Aku melihat dosa mematikan hati
Lalu diikuti dengan kehinaan di
setiap-setiap zamannya
Meninggalkan dosa adalah cara
menghidupkan hati
Maka pilihlah bagi dirimu untuk
menyalahi dosa-dosa.
c) Taubat ‘Arif
Taubat seorang ‘arif (orang yang
ma’rifah) bukan dari dosa atau dari menyalahi jiwa tetapi taubah dari kelupaan
terhadap dirinya sendiri bahwa dirinya itu dalam gemgaman Tuhannya.
2. Zuhud
Awal mula zuhud adalah sikap wara’
dalam beragama yakni menjauhi hal-hal yang diharamkan syara’. Memang kewara’an
dapat menimbulkan keinginan untuk berlaku zuhud secara ruhani secara mendalam.
Hanya makna zuhud secara sufistik lebih jauh dari itu. Misalnya halal menurut
syari’at adalah apa-apa yang tidak menyalahi aturan Allah, sementara halal
secara sufistik adalah apa-apa yang tidak menyebabkan lupa kepada Allah.
3. Wara (al-Wara’)
Secara lugawi wara’ artinya
hati-hati. Secara istillahi wara’ adalah sikap menahan diri agar hatimu tidak
menyimpang sekejap pun dari mengingat Allah.
Wara’ ada empat tingkatan
a. Wara’ orang awam
Ialah wara’ orang kebanyakan yaitu
menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang Allah.
b. Wara’ orang saleh
Menahan diri dari menyentuh atau
memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada haram.
c. Wara’ muttaqin
Menahan diri dari sesuatu yang tidak
diharamkan dan tidak syubhat karena takut jatuh kepada haram.
Nabi
bersabda, yang artinya :
“Seorang hamba tidak akan mencapai
derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut
akan apa yang dapat menimbulkan dosa” (Ibnu Majah).
d. Wara’ orang benar
Menahan diri dari apa yang tidak
berdosa sama sekali dan tidak khawatir jatuh ke dalam dosa, tapi dia menahan
diri melakukannya kaena takut tidak ada niat untuk beribadat kepada Allah.
4. Faqr (al-Faqr)
Faqr berarti kekurangan harta dalam
menjalankan kehidupan di dunia. Sikap faqr harus dimiliki oleh seorang salik
sewaktu menjalankan suluknya.
5. Sabar (as-Sabr)
Sabar berarti tabah dalam menghadapi
segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan menyerah dalam diri. Sabar juga dapat
berarti tetap merasa cukup meskipun kenyataannya tidak memiliki apa-apa.
6. Syukur (as-Syukr)
Syukur yang berarti berterima kasih.
Allahlah yang telah memberikan nikmat dan berokah kepada umat manusia. Allah
berfirman : Jika kamu bersyukur, maka kami akan menambahkan nikmat kepadamu
(al-Baqarah : 7)
7. Tawakal (at-Tawakkal)
Tawakkal arti dasarnya berserah diri
kepada Allah. Secara sufistik tawakkal adalah penyerahan diri hanya kepada
ketentuan Allah.
8. Rida (ar-Rida)
Rida artinya meninggalkan ikhtiar.
Menurut al-Muhaisibi rida adalah tentramnya hati dibawah naungan hukum.
Menurut an-Najjar, ahli rida terbagi
empat tipe. Pertama, golongan orang yang rida atas segala pemberian Al-Haq dan
inilah makrifat. Kedua, golongan orang rida atas segala nikmat, itulah dunia.
Ketiga, golongan yang rida atas musibah dan itlah cobaan yang beragam. Keempat,
golongan yang rida atas keterpilihan, itulah mahabbah.
9. Al-Ma’rifah
Ma’rifah artinya mengenal atau
melihat (melihat tuhan dengan mata hati).
Dzunnun al-Misri membagi ma’rifah
menjadi tiga bagian : 1) Ma’rifah mukmin, 2) Ma’rifah ahli kalam, 3) Ma’rifah
Auliya muqarrabin. Sufi membagi manusia pada tiga klasifikasi. Pertama,
tingkatan kaum ‘arif yang mendapatkan kebahagiaan sebab hikmah (wisdom). Kedua,
tingkatan orang-orang mukmin yang mendapatkan kebahagiaan karena memiliki
keimanan. Ketiga, tingkaatn orang-orang bodoh dan mereka ini orang-orang yang
binasa.
E. Tasawuf dan Tarekat
Mazhab dalam tasawuf disebut tarekat.
Harun Nasution memandang tarekat dari sisi institusi. Ia beranggapan bahwa
tarekat adalah organisasi para pengamal ajaran Syaikh pendiri tarekat
termaksud.
K.H.A. Sahibulwafa Tajul’arifin
(Abah Anom) menjelaskan bahwa tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada
Tuhan sedangkan tarekat adalah metodenya. Dengan demikian TQN adalah salah satu
metode tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah guna dapat keridoan-Nya.
Sebuah tarekat dianggap mu’tabarah
apabila terpenuhi kriteria sebagai berikut.
- Substansi ajarannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, dalam arti bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Tidak meninggalkan syari’ah.
- Silsilahnya sampai dan bersambung (ittisal) kepada Rasulullah Saw.
- Ada mursyid yang membimbing para muridnya.
- Ada murid yang mengamalkan ajaran gurunya.
- Kebenaran ajarannya bersifat universal.
Tarekat yang tidak memenuhi kriteria
seperti tertulis di atas dianggap gair mu’tabarah yakni tidak dibenarkan
mengamalkannya apalagi meyebarkannya.
Berdasarkan kelima kriteria di atas
jelaslah bahwa TQN bukanlah ajaran yang baru apalagi dianggap ajaran yang tidak
berasal dari Rasul, karena ia adalah ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan
sunnah sahihah dan secara mutawatir diamalkan oleh setiap generasi dibawah
bimbingan Syaikh Mursyid pada setiap zamannya.
F.
Sumber Ajaran Tasawuf
Kalau kita kaji al-Qur’an secara
tematik, kita kana menemukan peta ayat secara zahir yakni ada empat tentang
teologi, fikih, tasawuf, falsafah dan seterusnya. Dari pendektana semacam ini
ulama melahirkan ilmu tauhid, ilmu fikih, tasawuf, filsafat dan lain-lain.
Sebagian sufi misal Ibnu ‘Arabi,
al-Qusyaeri, Ibnu ‘Atolilah as-Sakandari dan sufi-sufi kontemporer lainnya
berpendapat bahwa semua ayat adalah tauhid, semua ayat adalah fikih begitu juga
semua ayat adalah taswuf. Paradigma yang berbeda dengan statemen di atas ini
muncul karena ada hadis nabi yang menyatakan bahwa setiap ayat ada mengandung
makna zahir dan makna batin.
Makna batin hanya dapat dipahami
oleh ulama yang secara istiqamah mensucikan hatinya dengan riyadah. Ulama yan g
dawam dalam riyadah adalah para sufi. Para sufilah orangnya yang dapat
menangkap makna batin ayat sehingga melahirkan ilmu haqiqah.
Dari pendekatan semacam ini pula,
pada gilirannya melahirkan apa yang disebut tafsir isyari (tafsir sufi). Dari
tafsir isyarilah lahirnya ilmu hakikat, taswuf dan tarekat, termasuk Tareka
Qadiriyyah wa an-Naqsabandiyah (TQN).
G. Buah dari Pengamalan Tasawuf
Buah pengamalan ilmu taswuf adalah
akhlak al-Karimah akhlak al-Karimah adalah kepribadian seimbang seorang manusia
dalam kedudukannya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah.
Dalam konsep universal dapat
disebutkan bahwa akhlak al-Karimah adalah kepribadian yang sesuai dengan
petunjuk (hidayah) Allah dan Rasulnya.
H.
Tarekat dalam Sistem Ajaran Islam:
Tarekat merupakan bagian integral
dari ajaran Islam. Islam tanpa tarekat bukanlah Islam kaffah sebagai yang
diajarkan Rasulullah Saw. Islam kaffah adalah Islam yang terpadu di dalamnya
aspek akidah, syari’ah dan haqiqah.tarekat qadiriyyah wa
an-Naqsabandiyah adalah salah satu alian dalam tasawuf yang substansi
ajarnnya merupakan gabungan dari dua tarekat yaitu Qadiriyyah dan
naqsabandiyah.Secara keilmuan dari aqidah lahir ilmu aqa’id, ilmu tauhid,
teologi Islam dan ilmu kalam, dari syariah lahir ilmu Fikih dengan segala
cabangnya dan dari aspek haqiqah lahir ilmu tasawuf dan tarekat.
Arti dasar tarekat adalah jalan. Dan
yang dimaksud adalah jalan yang mesti dilalui oleh seorang salik utuk menuju
pintu-pintu tuhan. Imam Malik berkata sebagai dikutip oleh Imam al-Gazali :
“Barang siapa bertasawuf tanpa fikih
maka dia zindik dan barang siapa berfikih tanpa tasawuf maka ia masih fasik dan
barang siapa yang berislam dengan memadukan antara fikih dan tasawuf benarlah
dia dalam berislam”.
Secara eksplisit kedua tarekat ini
dipadukan oleh seorang Maha Guru tasawuf yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas.
Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang dinisbahkan kepada pendirinya yaitu
Sultan al-Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Sementara Naqsabandiyah adalah
tarekat yang dinisbahkan kepada pendirinya yaitu Syaikh Bahauddin
an-Naqsabandi.
TASAWUF
AKHLAKI, FALSAFI DAN IRFANI
=========================
A. Tasawuf Akhlaki (Tasawuf Sunni)
Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang
berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan
menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang
telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf
sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.
Dalam diri manusia ada potensi untuk
menjadibaik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik
adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara potensi untuk
menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh
syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam
al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut
Artinya : “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang mengembangkan taswuf
akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243
H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir
al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H),
Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang
didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi
ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang filosof.
Ibnu Khaldun berendapat bahwa objek
utama yang menjadi perhatian tasawuf falsafi ada empat perkara. Keempat perkara
itu adalah sebagai berikut:
- Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul dari dirinya.
- Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, ‘arasy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang nampak, dan susunan yang kosmos, terutama tentang penciptanya serta penciptaannya.
- Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang brepengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
- Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui atau menginterpretasikannya.
Tokoh-tokoh penting yang termasuk
kelompok sufi falsafi antara lain adalah al-Hallaj (244 – 309 H/ 858 – 922 M)
Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H) al-Jili (767 H – 805 H), Ibnu Sab’in (lahir tahun
614 H) as-Sukhrawardi dan yang lainnya.
C. Tasawuf ‘Irfani
Tasawuf ‘Irfani adalah tasawuf yang
berusaha menyikap hakikat kebenaran atau ma’rifah diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui pemebirian Tuhan
(mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena si sufi berupaya melakukantasfiyat
al-Qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini
dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan Allah ke dalam
hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).
Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf
‘irfani antara lain : Rabi’ah al-Adawiyah (96 – 185 H), Dzunnun al-Misri (180 H
– 246 H), Junaidi al-Bagdadi (W. 297 H), Abu Yazid al-Bustami (200 H – 261 H),
Jalaluddin Rumi, Ibnu ‘Arabi, Abu Bakar as-Syibli, Syaikh Abu Hasan
al-Khurqani, ‘Ain al-Qudhat al-Hamdani, Syaikh Najmuddin al-Kubra dan
lain-lainnya.